Beranda | Artikel
Bagai Puasa Setahun Penuh
Kamis, 27 Mei 2021

Di antara rahmat Allah Ta’ala bagi hamba-Nya adalah Ia mensyariatkan puasa Syawwal setelah bulan Ramadan, agar mereka bisa mendapatkan keutamaan seperti puasa setahun penuh. Berikut ini pembahasan ringkas mengenai fikih puasa Syawwal, semoga bermanfaat.

Hukum Puasa Syawwal

Puasa Syawwal hukumnya mustahab (sunnah), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu menambahnya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh.(H.R. Muslim).

Keutamaan puasa Syawwal

Secara umum, semua keutamaan ibadah puasa juga terdapat dalam puasa Syawwal. Namun, puasa Syawwal memiliki keutamaan khusus, yaitu menyempurnakan ibadah puasa Ramadan sehingga senilai dengan puasa setahun penuh. sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Allah menjadikan satu kebaikan bernilai sepuluh kali lipatnya, maka puasa sebulan senilai dengan puasa sepuluh bulan. Ditambah puasa enam hari setelah Idul Fitri membuatnya sempurna satu tahun (H.R. Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Imam An-Nawawi mengatakan,

“Pahala puasa Syawwal seperti puasa setahun penuh. Karena satu kebaikan senilai dengan sepuluh kebaikan. Puasa Ramadan sebulan senilai dengan sepuluh bulan, dan puasa 6 hari senilai dengan dua bulan (60 hari)” (Syarah Shahih Muslim, 8/56).

Buah dari puasa Syawwal

  • Puasa Syawwal menyempurnakan pahala puasa Ramadan agar bernilaiseperti puasa setahun penuh.
  • Puasa Syawwal dan puasa Sya’ban sebagaimana salat sunnah rawatib sebelum dan sesudah salat, ia menyempurnakan kekurangandan cacat yang ada pada ibadah yang wajib. Karena ibadah-ibadah wajib akan disempurnakan dengan ibadah-ibadah sunnah pada hari kiamat kelak.
  • Terbiasa berpuasa selepas puasa Ramadan adalahtanda diterimanya amalan puasa Ramadan. Karena ketika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberikan ia taufik untuk melakukan amalan shalih  Sebagaimana perkataan sebagian salaf, “Balasan dari kebaikan adalah (diberi taufik untuk melakukan) kebaikan selanjutnya”.

 

Tata cara puasa Syawwal

Tata cara puasa Syawwal secara umum sama dengan tata cara puasa Ramadan. Perbedaannya ada pada beberapa hal berikut:

  1. Boleh niat puasa setelah terbit fajar

Telah kita ketahui bersama bahwa disyaratkan untuk menghadirkan niat pada malam hari sebelum puasa, yaitu sebelum terbit fajar. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Barangsiapa yang tidak menghadirkan niat puasa di malam hari sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya. (H.R. An-Nasai, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Namun para ulama menjelaskan bahwa ini berlaku untuk puasa wajib. Adapun puasa nafilah (sunnah) maka boleh menghadirkan niat setelah terbit fajar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal tersebut. Sebagaimana dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab, ‘wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda, ‘kalau begitu aku akan puasa’. (H.R. Muslim).

Imam An-Nawawi mengatakan,

“Hadits ini merupakan dalil bagi jumhur ulama bahwa dalam puasa sunnah boleh menghadirkan niat di siang hari sebelum zawal (matahari mulai bergeser dari tegak lurus).” (Syarah Shahih Muslim, 8/35).

  1. Tidak harus berurutan

Tidak sebagaimana puasa Ramadan, puasa Syawwal tidak disyaratkan harus berurutan (mutatabi’ah) dalam pelaksanaannya. Boleh dilakukan secara terpisah-pisah (mutafarriqah) harinya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan,

“Puasa enam hari di bulan Syawwal telah sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan boleh mengerjakannya secara mutatabi’ah (berurutan) atau mutafarriqah (terpisah-pisah). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan puasa Syawwal secara mutlaq (baca: tanpa keterangan tambahan) dan tidak disebutkan harus berurutan atau harus terpisah-pisah. Beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, ia mendapatkan pahala puasa setahun penuh’.” (H.R. Muslim dalam Shahihnya)(Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah, 15/391).

  1. Boleh membatalkan puasa dengan atau tanpa uzur

Dibolehkan membatalkan puasa nafilah (sunnah) baik karena suatu udzur syar’i maupun tanpa udzur. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ’anha,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari masuk ke rumah dan bertanya, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?’. Aisyah menjawab, ‘tidak’. Beliau bersabda, ‘kalau begitu aku akan berpuasa’. Kemudian di lain hari beliau datang kepadaku, lalu aku katakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, ada yang memberi kita hadiah berupa hayis (sejenis makanan dari kurma)’. Nabi bersabda, ‘kalau begitu tunjukkan kepadaku, padahal tadi aku berpuasa’. Lalu Nabi memakannya.” (H.R. Muslim).

  1. Bagi wanita hendaknya meminta izin kepada suaminya

Bila seorang wanita ingin mengerjakan puasa sunnah, termasuk puasa Syawwal, maka wajib meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu atau ia mengetahui bahwa suaminya mengizinkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya hadir (tidak sedang safar) kecuali dengan seizinnya, jika puasa tersebut selain puasa Ramadan. Dan tidak boleh seorang wanita membiarkan orang lain masuk kecuali dengan seizin suaminya. (H.R. Abu Daud, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Bolehkah mendahulukan puasa Syawwal sebelum menunaikan hutang puasa?

Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan dan kebolehan puasa sunnah sebelum qadha puasa. Mereka khilaf (berselisih) dalam dua pendapat dan dua riwayat dari Imam Ahmad. Dan yang sahih hukumnya boleh.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits sahih,

Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh. (H.R. Muslim).

Sabda beliau …puasa Ramadan lalu mengikutinya… dimaknai oleh sejumlah ulama kepada wajibnya menyempurnakan puasa Ramadan sebelum mengerjakan puasa sunnah. Namun, pendapat terkuat mengakhirkan qadha puasa Ramadan hingga bulan Sya’ban hukumnya boleh, berdasarkan perbuatan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Salamah, ia berkata, aku mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

Aku pernah memiliki hutang puasa Ramadan, dan aku tidak bisa menunaikannya hingga di bulan Sya’ban”.

Pendapat yang sahih adalah boleh mengakhirkan qadha puasa Ramadhan walaupun bukan karena darurat, dengan catatan bahwa menyegerakan qadha (mengganti) puasa ramadhan dan melepaskan diri dari tanggungan lebih utama. Jika tanpa darurat saja boleh, tentu mengakhirkannya karena mengerjakan puasa Syawwal lebih layak untuk dibolehkan. Dan ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah.

Demikian pembahasan singkat mengenai fikih puasa Syawwal. Semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua, dan semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk mengamalkannya.

Wabillahi at-taufiq was-sadaad.

Ditulis oleh Ustaz Yulian Purnama S. Kom. dari artikel https://muslim.or.id/30930-fikih-puasa-Syawwal.html, di murajaah oleh Ustaz Abu Umair, B.A., S.Pdi., M.Pd.

 

 

 

 

Ziyadah

Puasa  6 hari di bulan syawal yang bisa berlipat ganda pahalanya dengan melakukannya pada hari senin-kamis dan 3 hari ayyamul bidh

  1. Senin 17 Mei
  2. Kamis 20 Mei
  3. Senin 24 Mei
  4. Selasa 25 Mei ( ayyamul bidh)
  5. Rabu 26 Mei (ayy bidh)
  6. Kamis 27 Mei (ayy bidh)* – *sunnah kamis – ayy bidh – syawal
  7. Senin, 31 Mei
  8. Kamis, 3 Juni
  9. Senin, 7 Juni
  10. Kamis, 10 Juni

Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/bagai-puasa-setahun-penuh/